

Beberapa waktu lalu, terjadi polemik antara pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan pengembang. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan banyak rumah susun (Rusun) yang bermasalah di Jakarta terkait pengelolaannya yang hanya dikuasai oleh pengembang tanpa melibatkan warga atau penghuni.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) Danang S. Winata mengatakan, bahwa tidak semua apartemen yang dikelola oleh pengembang bermasalah. Oleh karena itu, berharap agar pemerintah DKI Jakarta untuk lebih bijak menyikapi dan membedakan antara pengembang bermasalah atau kategori nakal dengan yang baik.
Menurut Danang, menjadi pengurus di P3RSI bukanlah pekerjaan yang gampang apalagi menguntungkan. Ini adalah pekerjaan sosial yang harus dilakukan, sementara mereka masih tetap harus memenuhi kewajiban sebagai penghuni. “Jadi, yang dilakukan oleh kami sebagai pengelola adalah bentuk dari tanggungjawab juga,” ujar Danang, di Jakarta, Kamis
Lebih lanjut, Danang juga menyoroti Peraturan Gubernur DKI 132/2018 yang menurut ia kurang tepat. Salah satu konsiderans dalam pembentuk Peraturan Gubernur adalah Peraturan Menteri. Terkait pengelolaan rumah susun, Pergub ini mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 23/2018.
Dari segi legal formal, kata dia, secara hierarki perundang-undangan (UU 12/2011) Peraturan Menteri seharusnya keluar sesuai dengan pasal delegasi yang sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan diatasnya. Namun sebelum penerbitan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri sudah terlebih dahulu diterbitkan.
“Undang-undang 20/2011 memberikan mandat pengelolaan rumah susun diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri. Sehingga Peraturan Menteri 23/2018 sesungguhnya mengandung ketidak tepatan secara substansi dan prosedur hukum,” jelas Danang.
Sementara terkait pengaturan pemilihan hak suara one man one vote, ujarnya, sama sekali tidak ada arahan di UU 20/2011 dari semua pasal yang ada. Malah ada tiga jenis hak di UU 20/2011 yaitu hak pengelolaan, hak pemilikan dan hak hunian, didalam Permen 23/2018 di lampiran II ditambah Hak ke empat yaitu hak pemilihan pengurus dan pengawas PPPSRS, kenyataannya hal ini menambahi dari ketentuan UU yang ada.
“Beberapa pihak menyatakan pasal 77 ayat 2 UU 20/2011 dasar hukum one man one vote, tapi nyatanya pasal itu menjelaskan hak penghunian dan penjelasan tata caranya kalau rusun itu sudah atau belum terhuni. Bukan pembenaran atas tatacara pemilihan pengurus PPPSRS yang dengan cara one name one vote. Dengan demikian Pergub DKI 132/2018 yang mengacu Peraturan Menteri tersebut seharusnya dikaji ulang sebelum diimplementasi,” ungkap Danang.
Mengenai polemik ini, Ketua DPD REI DKI Amran Nukman mengatakan, sebaiknya bisa diselesaikan dengan baik dan bijaksana antara pengelola rumah susun dengan pemerintah DKI Jakarta. “Kita semua berharap permasalahan ini tidak menganggu jalannya industri properti dan semua bisa diselesaikan dengan baik agar tidak merugikan semua pihak,” ujarnya.

Maraknya kabar tentang aksi penipuan rumah murah berkedok syariah, ternyata hanya dilakukan oleh segelintir oknum developer nakal.

The much awaited and anticipated revolution in construction is gaining momentum.

Setelah berhasil menggelar seri pertama dari Anabata Talk Series pada Agustus lalu di Bintaro, Anabata selaku penyelenggara acara di bidang arsitektur dan desain akan kembali mengadakan acara Anabata Talk Series #2 by Technal pada Sabtu, 14 Desember 2019 mendatang di Balai Adhika, Majapahit Hotel, Surabaya.